Selamat Datang, Silahkan Membaca, Kritik atau Komentar yang Membangun dari Anda Saya Harapkan demi Kemajuan Blog Ini. Jika Terdapat Kesalahan di dalam Penulisan, Harap Konfirmasikan Melalui Facebook Pengeblog
Salam Hangat
--- www.soviyullah.blogspot.com ---

Selasa, 04 Desember 2012

Sang Guru

Riwayat singkat Syaikhona Mohamad Kholil Bangkalan
Sang guru lahir pada 11 Jamadilakhir 1235 Hijrah atau 27 Januari 1820 Masehi di Kampung Senenan - Bangkalan, Pulau Madura. Beliu masih keturunan dari Sunan Gunung Jati. Kok bisa..? 
Salah satu Waliyullah yang di makamkan di Desa Astana, Kec. Gunung Jati, Kab. Cirebon memiliki keturunan di bumi Madura. Begini ceritanya, : Beliau KH. Mohamad Kholil adalah putra dari Kiyai Haji Abdul Lathif bin Kiyai Hamim bin Kiyai Abdul Karim bin Kiyai Muharram bin Kiyai Asrar Karamah bin Kiyai Abdullah bin Sayid Sulaiman. Dari Sayyid sulaiman inilah silsilah beliu sampai kepada Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati Cirebon. 

Sang Guru, Berburu Ilmu

Apa yang kita dengar mengenai keistimewaan Sang Guru Kyai ini bukanlah sesuatu yang datang pada beliau secara tiba-tiba. Keistimewaan yang memancar pada diri Kiai Kholil Bangkalan lahir dari proses penempaan diri yang sangat panjang. Semenjak remaja, beliau terbiasa menjalani pola hidup yang sederhana dan memprihatinkan, pahit manis, suka dan duka dalam perjalanan hidupnya ia pernah jalani. 
Sejak masih kecil Beliau yang lahir dari keluarga Ulama, mendapat bimbingan langsung dari keluarganya. Setelah menginjak dewasa mulailah beliau mengembara ke berbagai pondok pesantren, mengecap ilmu dan karomah dari para pewaris nabi di berbagai daerah. Sekitar 1850-an, sang guru nyantri pada Kyai Muhammad Nur Langitan, Tuban. Usai belajar di Langitan, perjalanan Ta’lim sang Guru dilanjutkan ke beberapa pondok pesantren yang lain. Salah satunya beliau berguru kepada Kyai Nur Hasan, Sidogiri.
Setelah melanglang berguru pada para Ulama Nusantara masa itu, rupanya kehausan akan ilmu Kholil muda belum juga terpenuhi. Pada tahun 1859, ketika berusia 24 tahun Sang Guru melanjutkan Ta’lim nya ke pusatnya Islam, Makkah Al Mukarromah. Di Kota Suci ini beliau belajar kepada Syeikh Nawawi al-Bantani, Syeikh Utsman bin Hasan ad-Dimyathi, Saiyid Ahmad bin Zaini Dahlan, Syeikh Mustafa bin Muhammad al-Afifi al-Makki, Syeikh Abdul Hamid bin Mahmud asy-Syarwani. 
Waktu yang cukup lama di tempuh oleh sang guru untuk mengecap ilmu dari para ‘alim di makkah, keasyikan dalam samudra ilmu dan karomah di kota suci ini tidak terasa sudah hampir 30 tahun. Pada usia 53 sang guru pulang ke Tanah Madura, beliau mendirikan pesantren di Desa Cengkebuan. Pesantren ini akhirnya beliau serahkan kepada menantunya Kiyai Muntaha, dan beliau sendiri membuka sebuah lagi pesantren di Desa Kademangan, Bangkalan

Hadirnya Sang Guru Kyai

Sang guru pulang ke Madura ketika masyarakat sedang lemah dan dilemahkan akibat penjajahan. Hati nurani beliau bergolak, tidak ridho terhadap situasi masyarakat yang terpuruk akibat tindakan rezim kolonial. Namun,beliau yang sudah berumur 53 tahun, berperang vis a vis di garis depan tentu menjadi suatu pandangan yang kurang lazim. Sang Guru memilih untuk membangun pondok pesantren sebagai sarana membangun barisan muda yang progresif dan revolusioner, yang kuat tauhid dan syariatnya. Menggemuruhkan semangat kejuangan di dada santri untuk membebaskan masyarakat dari kekejian kaum kolonialis. 
Dan senyatanya dari pondok pesantren yang dibangun, Sang guru menerima banyak santri dari berbagai penjuru daerah, menggembleng menjadi pribadi-pribadi yang tangguh melawan imperialime dan kolonialisme. Tak jarang mereka adalah putra-putra dari para ulama’ di daerahnya. Dan benarlah diantara para santrinya di kemudian hari menjadi penggerak bagi masyarakat, bangsa dan Agama Islam di Nusantara. Beliau para Kyai yang pernah berguru kepada Syaikhona Mohamad Kholil Bangkalan adalah ; KH. Hasyim Asy’ari pendiri Jam’iyah Nahdlatul Ulama (organisasi terbesar di Indonesia), Kiai Abdul Wahab Hasbullah (Jombang), Kiai Bisri Syansuri (Jombang), Kiai Abdul Manaf (Lirboyo-Kediri), Kiai Maksum (Lasem), Kiai Munawir (Krapyak-Yogyakarta), Kiai Bisri Mustofa (Rembang Jateng), Kiai Nawawi (Sidogiri), Kiai Ahmad Shiddiq (Jember), Kiai As’ad Syamsul Arifin (Situbondo), Kiai Abdul Majjid (Bata-Bata Pamekasan), Kiai Toha (Bata-Bata Pamekasan), Kiai Abi Sujak (Astatinggi Kebun Agung, Sumenep), Kiai Usymuni (Pandian Sumenep), Kiai Muhammad Hasan (Genggong Probolinggo), Kiai Zaini Mun’im (Paiton Probolinggo), Kiai Khozin (Buduran Sidoarjo). Tak lupa, Ir. Soekarno sang proklamator RI pun sempat mengecap madu ilmu dan karomah dari Sang Guru Kyai, meskipun tidak menjadi santri sebagaimana yang lainnya. Akankah kita temukan Sang Guru lagi di hari yang seperti ini.? Wallahua’lam. ( Kang Min )

Tidak ada komentar: